
Trutup.id - Pada masa silam, ketika tanah Jawa masih berupa hutan belantara dan belum banyak dijamah manusia, berdirilah sebuah kerajaan yang makmur dan damai bernama Kerajaan Gumenggeng. Kerajaan ini dikenal akan kebijaksanaan rajanya dan kemakmuran rakyatnya. Namun di balik kejayaannya, tersimpan kisah seorang tokoh bijaksana dan sakti yang kemudian menjadi legenda — Mbah Legi.
Asal-usul Mbah Legi
Mbah Legi adalah seorang pertapa sakti yang berasal dari lingkungan istana Gumenggeng. Beberapa cerita menyebutkan bahwa beliau adalah mantan penasihat raja atau bahkan putra dari salah satu bangsawan istana yang memilih meninggalkan kehidupan duniawi demi mencari kesempurnaan batin dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Ia meninggalkan istana dan mengembara hingga akhirnya menetap di sebuah hutan lebat di sebelah tenggara wilayah kerajaan, yang kala itu belum bernama. Tempat itu penuh dengan pepohonan karang dan pohon nangka besar, sehingga orang-orang yang lewat mulai menyebut daerah itu sebagai Karangnongko — karang yang ditumbuhi nangka.
Pertapaan di Karangnongko
Di Karangnongko, Mbah Legi menjalani kehidupan sederhana dalam pertapaan. Ia dikenal memiliki kesaktian luar biasa. Konon, ia mampu berbicara dengan hewan, menyembuhkan penyakit, dan menurunkan hujan di musim kemarau. Namun lebih dari itu, beliau dihormati karena kebijaksanaannya.
Waktu demi waktu berlalu, nama Mbah Legi makin masyhur. Banyak orang dari berbagai penjuru datang untuk berguru atau sekadar meminta nasihat. Pertapaannya menjadi pusat spiritual yang ramai, namun tetap terjaga kesuciannya karena Mbah Legi hanya menerima orang-orang yang benar-benar tulus hati.
Perubahan Nama Menjadi Trutup
Menjelang akhir hayatnya, Mbah Legi memprediksi bahwa tempat pertapaannya kelak akan menjadi pemukiman yang ramai. Ia berpesan kepada murid-muridnya agar menjaga kelestarian dan kebaikan tempat itu. Setelah wafatnya, para pengikutnya mulai menetap di daerah sekitar pertapaan, membuka lahan, dan membentuk perkampungan.
Lambat laun, nama Karangnongko mulai bergeser menjadi Trutup, yang menurut cerita rakyat berasal dari kata "nutup" atau "menutup", karena diyakini bahwa saat Mbah Legi wafat, langit mendadak gelap seolah tertutup, dan alam ikut berkabung atas kepergiannya.
Ada pula versi lain yang mengatakan nama Trutup berasal dari keadaan wilayah itu yang tertutup oleh hutan lebat atau kabut mistis yang sering muncul di pagi hari — konon karena aura spiritual peninggalan Mbah Legi masih sangat kuat.
Warisan Mbah Legi
Sampai hari ini, masyarakat Desa Trutup masih mengenang Mbah Legi. Di bagian tertentu desa, terdapat petilasan atau makam yang diyakini sebagai tempat pertapaan atau peristirahatan terakhirnya. Setiap tahun, warga mengadakan selametan desa atau nyadran untuk mengenang jasa dan keberkahan yang ditinggalkan oleh sang pertapa sakti.